   

BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang

Paradigma dalam bahasa inggris disebut dengan paradigm dan dalam bahasa prancis di sebut paradigme, isti’lah tersebut berasal dari bahasa latin yakni para dan deigma yang secara etimologis memiliki arti beberapa macam , diantaranya : sebagai cara memandang sesuatu , sebagai acuan menjadi model, pola, ideal, sebagai totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi dan  sebagai dasar penyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem terebut. Sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia sebuahkonsep dasar yang di anut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuan sebagai cara pandang terhadap suatu atau seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Pembangunan sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengolah dan memanfa’atkan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan semakin terbatasnya sumber daya alam baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka pemanfa’atan sumber daya alam harus dilakukan seara bijaksana dan terencana dengan baik. Sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup.

2.      Rumusan masalah

1.      Sejarah perubahan paradigma pembangunan
2.      Apa pengertian paradigma pembangunan dalam bidang pertanian ?
3.      Bagaimana paradigma baru pembangunan dalam bidang pertanian ?

4.      Paradigma baru pembangunan berkelanjutan

BAB II
PEMBAHASAN
            2.1 Sejarah perubahan paradigma pertanian
Berdasarkan sejarah, pembangunan pertanian telah mengalami beberapa tahap atau perkembangan. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu zaman sebelum dan sesudah Bimas. Dari kedua zaman tersebut, banyak terjadi perubahaan yang dapat dilihat dari aspek yang ditimbulkanya. Pada masa sebelum Bimas, umumnya masyarakat belum mengenal jenis-jenis padi unggul, sehingga mereka masih menggunakan varietas lokal yang dicirikan dengan umur yang panjang dan produksi yang relatif rendah. Dalam usaha tani, secara umum masyarakat belum menggunakan teknologi yang modern (seperti pupuk, dan obat-obatan). Dalam menentukan jenis kegiatan termasuk jenis komoditi yang akan diusahakan, para petani `masih mempunyai kebebasan atau dengan kata lain tidak ada intervensi dari pemerintah. Pada era enam puluhan, pemerintah melalui suatu terobosan guna memacu peningkatan produksi, melaksanakan program Bimas dengan menerapkan beberapa teknologi dalam usaha pertanian yang berlanjut hingga saat ini. Dalam program ini, sudah terlihat adanya suatu bentuk intevensi dari pemerintah dalam pengaturan terhadap kegiatan petani sehingga petani tidak bebas dalam menentukan jenis usaha komoditi yang dilaksanakannya. Pembangunan dengan cara penerapan teknologi yang dikenal dengan revolusi hijau, dimana penerapan teknologi sudah diperkenalkan kepada petani dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan perubahan sosial yang bersifat negatif pada masyarakat.
Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang  berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan  pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun  (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA.
1.REPELITA I (1969-1974) Repelita I mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Repelita I ini merupakan landasan awal pembangunan pertanian di orde  baru. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan  prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Titik  berat Repelita I ini adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang  pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Banyak program yang dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan  programnya tersebut, antara lain :
a.       Memberikan bibit unggul kepada petani dan melakukan beberapa eksperimen untuk mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.  
b.      Memperbaiki infrastuktur yang digunakan oleh sektor pertanian seperti  jalan raya, sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi tempat dijualnya hasil pertanian.
c.       Melakukan transmigrasi agar lahan yang berada di kalimantan, sulawesi, maluku dan papua dapat diolah agar menjadi lahan yang mengahasilkan bagi perekonomian.

2.REPELITA II (1974-1979) Repelita II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan kerja. Repelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna  produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

 3.REPELITA III (1979-1984) Repelita III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979  – 31 Maret 1984. Repelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang  bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah  pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
 4.REPELITA IV (1984-1989) Repelita IV mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Repelita IV adalah peningkatan dari Repelita III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian  pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Repelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Kebijakan yang ditempuh pada saat itu adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi, dengan menaikkan produksi terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada. Pada waktu itu rata-rata petani hanya memiliki setengah hektare dan kemampuan penguasaan teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali  bercocok tanam secara tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga  penyuluh pertanian, membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama. Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan massal (Bimas). Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui radio dan televisi bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus untuk koran masuk desa dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan, membimbing petani. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.

5.REPELITA V (1989-1994) Repelita V mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pada Repelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan  produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan  pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Repelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

2.2  perubahan paradigma pembangunan dalam bidang pertanian

            Paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sehingga mempengaruhi citra subyektif seseorang mengenai realita dan dapat menentukan bagaimana seseorang menanggapai realita tersebut. Sedangkan pembangunan adalah proses jangka panjang untuk meningkatkan pendapatan nasional yang pada dasarnya butuh perubahan dan pertumbuhan. Paradigma pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang di pergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan dalam arti pembangunan baik secara proses maupun sebagai metode untuk mencapai peninggkatan kualitas kehidupan manusia, kesejahteraan bagi masyarakat petani.
Paradigma pembangunan di indonesia telah mengalami perubahan di awali dari pembangunan berkelanjutan dimana pembangunan pertanian ini dapat memberikan kontribusi penting terhadap penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani, mendorong pemerataan pendapatan dan pemerataan kesempatan berusaha dan pelestarian sumber daya alam. Mengingat paradigma pembangunan berkelanjutan  berupaya memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa depan.
            Pembangunan pertanian pada masa lampau yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Akibatnya, setelah hampir empat dasawarsa pembangunan berlangsung , kondisi pertanian nasional masih di hadapkan pada berbagai masalah, diantaranya :
o   Menurunnya kesuburan dan produktifitas lahan
o   Berkurangnya daya dukung lingkungan
o   Meningkatnya konversi lahan pertanian produktif
o   Meluasnya lahan kritis
o   Meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan
o   Menurunnya nilai tukar, penghasilan dan kesejahteraan petani
o   Meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran di pedesaan
o   Terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat.
 Melihat masalah-masalah yang terjadi ini semakin menunjukkan bahwa paradigma pembangunan selalu dan harus berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntutan zaman dan permasalahannya. Paradigma pembangunan di indonesia dalam bidang pertanian harus mengubah paradigma lama. Paradigma profitabilitas harus segera di gantikan oleh paradigma berkelanjutan juga dengan paradigma keseimbangan, selain itu paradigma efisiensi lingkungan harus lebih di kedepankan dari pada paradigma efisiensi teknis. Secara konsepsi perwujudan dari sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dengan ciri utamanya antara lain :
a)      Perencanaan pembangunan bersifat bottom up ( melibatkan stakeholders petani, pelaku agribisnis).
b)      Program dan pelaksanaan pembangunan tidak berdasarkan batas administrasi pemerintah (Provinsi/kabupaten/kecamatan), melainkan batas agroekologi.
c)      Pewilayahan atau zonasi wilayah sasaran dalam satu kesatuan hamparan (economy of scale).
d)     Pembangunan pertanian menggunakan pendekatan sistem usaha tani.
e)      Perhatian terhadap pelestarian sumber daya alam tanah, air dan sumberdaya hayati serta keterkaitan antara daerah aliran sungai (DAS) hulu-tengah-hilir.
f)       Penerapan prinsip KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergis) antara instansi yang berwenang.
g)      Penerapan hukum secara konsekuen.

          Pembangunan pertanian berkelanjutan adalah masalah yang kompleks. Menurut Soemarwoto (1992), masalah itu timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia.
            Akibatnya adalah terganggunya kesejahteraan manusia. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan ekonomi global, sehingga memerlukan solidaritas dan kerja sama antar bangsa. Krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental filosofis dari etika antroposentris, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan hidup manusia (Keraf, 2002).
          Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa peduli sama sekali terhadap alam dan segala isinya. Diperlukan paradigma baru interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di bumi yang memandang alam sebagai bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral. Manusia dituntut untuk menjaga dan melindungi alam beserta isinya.
          Perubahan paradigma ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, namun tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu secara signifikan, justru kerusakan sumberdaya alam bisa dikurangi. Implementasi konsep efisiensi yang merupakan perpaduan yang efektif antara ekonomi, ekologi, dan sosial dalam penggunaan sumberdaya sangat diperlukan.
          Dengan adanya konsep strategi Agricultural-demand-led industrialization (ADLI), Proses pembangunan industri didasari atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasaan kesempatan kerja, peningkatan kinerja ekonomi dan pendapatan petani.

2.3 dampak terjadinya perubahan paradigma pembangunan

Pembangunan sektor pertanian mengalami perubahan paradigma dari subsistem untuk memenuhi kecukupan hidup menjadi sebuah bisnis yang menganggap pertanian merupakan "pabrik" yang dapat dikendalikan secara pasti, tanpa lagi tergantung pada iklim.
"Perubahan paradigma pertanian itu terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah seperti bibit unggul yang sangat tinggi daya serap unsur haranya," kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Doktor Ni Luh Kartini, di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan kondisi itu juga menyebabkan cepat tersedianya pupuk kimia, pestisida kimia yang sistematik sehingga menyebabkan sistem pertanian tradisional dengan bibit lokal, pupuk kandang, sampah abu bakar dan kegiatan lain yang dinilai tidak menguntungkan ditinggalkan petani.
Petani beralih ke sistem pertanian modern (revolusi hijau) dengan sasaran terlebih dulu pada tanaman padi yang dikenal dengan program "Sentra padi" (1975), BIMAS (1965) dan Supra Insus (1984), bahkan dalam beberapa tahun berikutnya menjangkau tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan.
Luh Kartini menambahkan, kondisi tersebut tanpa disadari menurunkan produktivitas sumber daya alam pertanian yang ditandai dengan berkurangnya hasil pada lahan sawah serta kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat mendukung proses alami di dalam tanah.
Degradasi sumber daya alam pertanian secara terus menerus terjadi tidak mampu dihentikan seperti bahan kadar organik tanah menurun, kadar air tanah dan pH tanah berkurang. Kondisi tersebut juga menyebabkan populasi cacing dalam tanah rendah sehingga mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati.
Dengan demikian, menurut dia, revolusi hijau telah membawa petani meninggalkan pertanian tradisional, sehingga mereka tidak lagi memanfaatkan sumber daya alam lokal yang diwarisi secara turun temurun."Akibatnya, mereka sangat tergantung dari produk luar yang mengandung zat-zat kimia yang sangat mengganggu kelestarian lingkungan," katanya. Selain itu, menurut dia, petani tidak lagi mencintai dan melindungi sumber daya alam pertanian yang dimiliki, karena merasa semuanya tidak menguntungkan lagi, dan sudah digantikan dengan sumber daya yang lain. "Padahal semua itu sangat merugikan dan menimbulkan pencemaran,"


            2.4 pembangunan pertanian berkelanjutan
            Paradigma  berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemapuan generasi mendatang untuk memiliki kebutuhan mereka sendiri. Pertanian berkenjutan(sustainable agricuture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustinable development) pada sektor pertanian. Konsep pembanguan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir taahun 1980’an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa:“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED, 1987)
pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia sangat memiliki potensi untuk terealisasikan. Menurut Mugnisjah[1][2]) peluang peluang yang dimiliki Indonesia untuk membangun pertanian dengan paradigma baru adalah sebagai berikut, (a) munculnya kawasan Asia Pasifik sebagai kekuatan ekonomi baru yang potensial bagi pemasaran produk pertanian Indonesia, (b) adanya penurunan peranan beberapa negara produsen pertanian pesaing Indonesia yang berartimeningkatkan kapasitas kompetitif Indonesia, (c) adanya kemungkinan penurunan proteksi baik yang dilakukan oleh negara-negara majumaupun oleh negara-negara berkembang sehingga akan memperluas pasar ekspor komoditi pertanian Indonesia, (d) masih adanya kesempatan untuk meningkatkan produksi melalui pemanfaatan IPTEK, perluasan areal tanam, dan peningkatan indeks pertanaman, (e) tersedianya plasma nutfah untuk sumber perbaikan varietas, baik untuk lahan subur maupun lahan marginal, (f) iklim Indonesia yang tropis memberikan kesempatan untuk mengusahakan berbagai tanaman sepanjang tahun, (g) ekosistem yang beragam antardaerah dengan keunggulan komoditi setempatnya dapat menghasilkan berbagai produk untuk perdagangan antardaerah, (h) penekanan kehilangan hasil dan peningkatan mutunya melalui perbaikan teknologi pascapanen dan pendekatan pemuliaan tanaman, (i) adanya kemauan politik pemerintah untuk memperbaiki kinerja pertanian, (j) penggunaan produk pertanian yang semakin beragam, yakni untuk pangan manusia dan bahan baku industri dan pakan ternak. Sumber daya pertanian seperti lahan dan air menjadi suatu yang sangat penting dalam pertanian karena konversi lahan secara besar-besaran menyebabkan lahan produktif di Indonesia menjadi berkurang sedangkan air menjadi sangat sulit saat ini ketika industri-industri membutuhkan air dengan jumlah yang begitu besar sehingga perlu upaya dari pemerintah untuk membuat regulasi yang adil terhadap kedua sumberdaya tersebut.
Menurut Subejo[2][3]) Dalam perubahan-perubahan yang terjadi dalam sektor pertanian negara-negara yang sedang berkembang, baik pada lingkungan internal maupun eksternal, terdapat tiga masalah pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan paradigma baru pembangunan pertanian. Pertama, di tengah-tengah perubahan-perubahan eksternal dan internal tersebut, bagaimana kita dapat menciptakan kebijaksanaan pertanian yang menjamin agar petani dapat memperoleh hak mereka atas air dan bibit, yang mereka butuhkan untuk mengelola usahatani secara lestari. Air merupakan sarana produksi yang utama bagi petani untuk membangun usaha taninya. Pada saat ini bukan lagi hanya terkait dengan kebutuhan pertanian, tetapi telah menjadi kebutuhan atau milik sektor perekonomian yang ada di negara kita. Bertambahnya peminat yang ingin memanfaatkan air mendorong terjadinya persaingan. Umumnya sektor pertanian menjadi sektor yang relatif lemah dalam kancah persaingan tersebut, birokrasi umumnya melihat industri lebih maju dari agraris sehingga mendapat prioritas untuk mendapatkan hak atas air. Terkait dengan akses terhadap bibit, seperti halnya air, bibit merupakan salah satu sarana produksi utama dalam produksi pertanian. Petani semestinya memperoleh akses bibit yang murah, hal ini dapat dicapai bila pemerintah memberikan kembali hak kepada petani untuk memproduksi bibit bagi kepentingan komunitas pertanian mereka. Departemen Pertanian hendaknya melakukan penelitian bersama petani di lapangan atau di lahan petani dan dapat difokuskan dalam program penangkaran benih desa yang dapat mendukung otonomi petani dalam menyediakan bibit. Kedua, masalah pertanian tersebut berkaitan dengan masalah kedua, yakni bagaimana membangun suatu pertanian yang dapat menjamin adanya suatu sistim ketahanan pangan bagi
negara-negara yang sedang berkembang. Ketiga, bagaimana kita dapat melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam yang berupa plasma nuftah yang dimiliki oleh negara-negara sedang berkembang, tidak hanya untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor yang lain dalam perekonomian nasional negara-negara tersebut, demi kesejahteraan rakyat.

Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai berikut :
manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989)
.
Sejak akhir tahun 1980’an kajian dan diskusi untuk merumuskan konseppembangunan bekelanjutan yang operasional dan diterima secara universal terus berlanjut. Pezzy (1992) mencatat, 27 definisi konsep berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari catatan tersebut. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpupada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993).


Gambar di atas tersebut Pilar Pembangunan (Pertanian Berkelanjutan)Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimalisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis(termasuk tercegahnya konflik sosial),preservasi keragaman budaya dan modal sosial-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu,pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikatorpenting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.


BAB III
PENUTUP

1.1  Simpulan
          Pembangunan pertanian pada masa lampau yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan.
          Dengan memperhatikan persoalan yang dihadapi di sektor pertanian ke depan yang semakin kompleks, baik dari aspek globalisasi ekonomi, lingkungan maupun dampak pemanasan global, maka tampaknya tidak ada pilihan lain untuk mengubah paradigma lama.
          Proses pembangunan industri didasari atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasaan kesempatan kerja, peningkatan kinerja ekonomi dan pendapatan petani.


                                        DAFTAR PUSTAKA

 Shalikhi. A karwan.sistem pembangunan berkelanjutan.hal 1- 10.
diperta.jabarprov.go.id
arieffachruddin.blogspot.com/.../normal-0-false-false-paradigma-pertanian.

Related Post :